Kajian terhadap beberapa karya sastra baik sastra lisan maupun tulisan,
dapat dilakukan dengan membandingkan karya-karya tersebut. Culler (dalam Nurgiyantoro) menyatakan berdasarkan pengalaman
kesusastraannya, pembaca akan dapat mengidentifikasikan unsur-unsur teks lain
pada karya yang baru. Intertekstualitas berkaitan dengan sikap pembaca dalam
membaca teks sastra. Ia akan membimbing pembaca untuk
memandang teks-teks terdahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifikasi yang bermacam-macam.
memandang teks-teks terdahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifikasi yang bermacam-macam.
Teori interteks memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih
mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya
(Teeuw). Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri,
dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacanya juga, dilakukan tanpa
sama sekali berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh,
teladan, kerangka atau acuan.
Lexemburg dkk. (dalam Nurgiyantoro) memberikan arti yang
berbeda. Ia mengartikan intertekstual sebagai “kita menulis dan membaca dalam
suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam
teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa, dan
dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu
teks dengan teks yang lain. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan
novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak
semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan,
baik paradi maupun negasi (Ratna).
Hubungan intertekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan
pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan
(Pradopo). Teeuw (dalam Nurgiyantoro) juga mengungkapkan
kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks
(lengkapnya: teks kesastraan) yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu, misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik,
seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara
teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus, dapat dikatakan bahwa kajian
interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul selanjutnya.
Riffaterre (dalam Nurgiantoro) mengemukakan bahwa sajak (teks)
yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain itu disebut
hipogram. Dalam hubungan ini, Kristeva (dalam Pradopo) mengemukakan
bahwa setiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan
dan transformasi teks-teks lain. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan
ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya
persamaan itu. Membandingkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogram akan
membuat makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti atau
menentang hipogramnya. Begitu juga, yang dilukiskan menjadi lebih terang
sehingga dapat diberikan makna sepenuhnya.
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan
memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah
intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan
bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya
dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun
puisi (Nurgiyantoro). Sudjiman dan Zaidan (dalam Trisman dkk,) mengemukakan hasil kajian sastra perbandingan tentu bermuara untuk
mendapatkan adanya perbedaan dan persamaan teks, penyimpangan, dan keinambungan
dari teks-teks yang dibandingkan, dan ketaklaziman teks yang baru dari teks
yang lama atau teks yang baru mengukuhkan teks yag telah ada sebelumnya.
Kajian intertekstual berbeda dengan sastra bandingan. Kajian
intertekstual adalah teori yang digunakan untuk membandingkan karya sastra baik
itu novel dengan novel, novel dengan puisi, dan novel dengan mitos untuk
mencari teks transformasi dan hipogram. Selain itu, intertekstual juga
digunakan untuk mengetahui apakah teks transformasi tersebut meneruskan,
melawan, menentang, ataukah sama dari hipogram.
Sastra bandingan merupakan metode perbandingan dengan
jalan untuk mendapatkan hasil penelitian dengan membandingkan dua karya sastra
atau lebih, yang menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan stuktur di
dalamnya. Metode bandingan merupakan cara dalam membandingkan karya sastra,
sehingga dalam kajian intertekstual digunakan metode bandingan.
No comments:
Post a Comment