Wednesday, September 17, 2014

Kajian Intertekstual



Kajian terhadap beberapa karya sastra baik sastra lisan maupun tulisan, dapat dilakukan dengan membandingkan karya-karya tersebut. Culler (dalam Nurgiyantoro) menyatakan berdasarkan pengalaman kesusastraannya, pembaca akan dapat mengidentifikasikan unsur-unsur teks lain pada karya yang baru. Intertekstualitas berkaitan dengan sikap pembaca dalam membaca teks sastra. Ia akan membimbing pembaca untuk
memandang teks-teks terdahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifikasi yang bermacam-macam.
Teori interteks memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya (Teeuw). Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacanya juga, dilakukan tanpa sama sekali berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka atau acuan.
Lexemburg dkk. (dalam Nurgiyantoro) memberikan arti yang berbeda. Ia mengartikan intertekstual sebagai “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa, dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik paradi maupun negasi (Ratna).
Hubungan intertekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan (Pradopo). Teeuw (dalam Nurgiyantoro) juga mengungkapkan kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan) yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik, seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus, dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul selanjutnya.
Riffaterre (dalam Nurgiantoro) mengemukakan bahwa sajak (teks) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain itu disebut hipogram. Dalam hubungan ini, Kristeva (dalam Pradopo) mengemukakan bahwa setiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan itu. Membandingkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogram akan membuat makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti atau menentang hipogramnya. Begitu juga, yang dilukiskan menjadi lebih terang sehingga dapat diberikan makna sepenuhnya.
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi (Nurgiyantoro). Sudjiman dan Zaidan (dalam Trisman dkk,) mengemukakan hasil kajian sastra perbandingan tentu bermuara untuk mendapatkan adanya perbedaan dan persamaan teks, penyimpangan, dan keinambungan dari teks-teks yang dibandingkan, dan ketaklaziman teks yang baru dari teks yang lama atau teks yang baru mengukuhkan teks yag telah ada sebelumnya.
Kajian intertekstual berbeda dengan sastra bandingan. Kajian intertekstual adalah teori yang digunakan untuk membandingkan karya sastra baik itu novel dengan novel, novel dengan puisi, dan novel dengan mitos untuk mencari teks transformasi dan hipogram. Selain itu, intertekstual juga digunakan untuk mengetahui apakah teks transformasi tersebut meneruskan, melawan, menentang, ataukah sama dari hipogram. 
Sastra bandingan merupakan metode perbandingan dengan jalan untuk mendapatkan hasil penelitian dengan membandingkan dua karya sastra atau lebih, yang menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan stuktur di dalamnya. Metode bandingan merupakan cara dalam membandingkan karya sastra, sehingga dalam kajian intertekstual digunakan metode bandingan.

No comments:

Post a Comment